Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang Wedana di Mayong.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristrikan seorang
bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah
lagi dengan Raden Adjeng Woerjan, keturunan langsung Raja Madura. Setelah
perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi Bupati Jepara menggantikan
kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri.
Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya,
pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal
pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi
pendidikan barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah
seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
katini belajar bahasa belanda. Tatapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal
di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai
belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman Korespodensi yang berasal
dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan
berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Pribumi,
karena ia melihat bahwa perempaun Pribumi barada pada status sosial yang
rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar semarang yaitu “De
Locomotief” yang dipimpin oleh Pieter Brooshooft, ia juga menerima Leestrommel
(paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya
terdapat majalah wanita belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian
beberapa kali mengirim tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil
membuat catatan-catatan. Kadang-kadang kartini menyebut salah satu karangan
atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak semata-semata soal Emansipas
wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar
memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan
yang lebih luas.
Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20 tahun, tedapat judul Max Havelaar dan surat cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (kekuatan ghaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi.
Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20 tahun, tedapat judul Max Havelaar dan surat cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (kekuatan ghaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi.
0 komentar:
Post a Comment
demi keamanan pada situs atau blog kami, jangan membuat spam, virus, link aktif, dan lainnya yang sifatnya mengganggu situs atau blog kami. terima kasih.