Sutomo
dilahirkan dikampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan
Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staff pribadi di sebuah perusahaan swasta,
sebagai asisten di kantor pajak pemerintahan dan pegawai kecil di perusahaan
ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa
pendamping dekat Pangeran Dipenegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya
berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, Madura,
Dan Batak.
Sutomo
dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan
terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki
keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meniggalkan pendidikannya di
MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak
depresi yang melanda dunia saat itu. Balakangan ia menyelesaikan pendidikan
HBS-nya lewat Korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo
kemudian bergabung dengan KBI (Kepannduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran Nasionalis yang
diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik
untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu
Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh
tiga orang Indonesia.
Sutomo
juga pernah menjadi seorang jurnalis sukses. Kemudian ia bergabung dengan
sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada tahun 1944 untuk
menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang
pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkanSutomo untuk peranannya yang
sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu
pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat Rakyat Surabaya, yang ada
pada waktu itu di Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang
mendarat untuk melucuti senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan
tawanan Eropa. Sutomo yang paling dikenag adalah seruan-seruan pembukaannya di
dalam siaran-siaran radio yang penuh dengan emosi.
Meskipun
Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian itu tetap dicatat
sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Setelah Kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada
tahun 1950-an, namun ia merasa tak bahagia dan kemudian menghilang dari
panggung politik. Pada masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto
yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.
0 komentar:
Post a Comment
demi keamanan pada situs atau blog kami, jangan membuat spam, virus, link aktif, dan lainnya yang sifatnya mengganggu situs atau blog kami. terima kasih.