Hirohito lahir di Aoyama,Tokyo pada tanggal 29 Pril 1901 dan meniggal pada tanggal 7 Januari 1989 di Fukiage, Tokyo yang kemudian dikubur di Hachioji, Tokyo. Sebelum naik takhta ia dikenal sebagai pangeran Michi. Masa kekuasaannya sebagai kaisar dikenal sebagai era Shoea yang berarti damai, Cerah Budi. Namun, ironisnya justru pada saat itu, jepang terlibat perang melawan RRC dan pada akhirnya juga ikut Perang Dunia II. Di Indonesia, ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945), Hirohito dikenal sebagai Tenno Heika yang berarti “Yang Mulia Kaisar”.
Hirohito

Hirihito mengenyam pendidikan awal di Gakushuin Peers School dari April 1908 hingga April 1914, kemudian mendapatkan pendidikan khusus untuk putra mahkota (Togu-gogakomunsho) di istana Akasaka dari tahun 1914 sampai Februari 1921. Mendapatkan karir sebagai letnan dan sub-lieutnant, mayor dan wakil komandan, letnan kolonel dan komandan serta kolonel dan komandan angkatan laut kekaisaran. Ia diangkat menjadi putra mahkota secara resmi pada tanggal 16 November 1916. Pada tahun 1922 ia mengadakan kunjungan ke Inggris dan sejumlah negara-negara Eropa. Tapi, kunjungan ini menwaskan Perdana Menteri Hamaguchi.

Dan ia dinobatkan menjadi kaisar pada tanggal 25 Desember 1926 setelah ayahnya Kaisar Taisho meninggal, dan ia dilantik secara resmi pada tanggal 10 November 1928 di Kyoto.

Pada masa masih bertakhta, ia menyaksikan pertentangan di dalam negeri dan peperangan yang diawali dengan kericuhan di dalam negeri akibat pertentangan antara kelompok moderat dengan golongan ultranasionalis yang disokong militer, khusunya angkatan darat sebagai kekuatan terbesar pada masa itu. Akibatnya sejumlah pejabat tinggi, pengusaha dan tokoh-tokoh penting negara terbunuh dan puncaknya adalah insiden militer 26 Februari 1936, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Saburo Aizawa serta dengan 1500 prajurit. Peristiwa ini juga melibatkan pangeran Yashuhito Chichibu sehingga Kaisar Hirohito sendiri turun tangan dan memerintahkan pasukan angkatan darat bersenjata kekaisaran untuk menyelesaikan hal ini dan memastikan loyalitas dari seluruh keluarga kekaisaran. Meskipun demikian diam-diam insiden itu “direstui” oleh kalangan pimpinan angkatan darat terutama dari kalangan ultranasionalis. Oleh karena itu pada tahun 1930, ultranasionalis dan militer menguasai pimpinan pemerintahan.

Menjelang akhir perang dunia II, jepang sudah praktis kalah pernag. Angkatan lautnya bisa dikatakan hampir habis dan aangkatan daratnya kewalahan. Namun, pihakangkatan dara masih ingin melanjutkan peperangan. Muncul pula ancaman pemberontakan komunis yang dikhawatirkan beberapa pejabat teras kekaisaran. Lambannya penanganan masalah ini ditambha lagi dengan jatuhnya bom atom di Hirodhima pada 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945, serta pernyataan perang Uni Soviet sesaat setelah dajatuhkannya bom atom di Nagasaki, membuat kaisar memerintahkan untuk menghentikan peperangan pada kenferensi 6 besar yang di gelar pada 10 Agustus 1945:

“meneruskan peperangan hanya akan menambah kesengsaraan rakyat jepang, kondisi negara tidak akan mampu untuk bertahan cukup lama dan kemampuan mempertahankan pesisir pantai saja sudah diragukan. Sangat sulit melihat tentara yang setia dilucuti, tetapi saatnya untuk menanggung apa yang tidak ditanggung. Saya menyetujui pengajuan untuk menerima proklamasi sekutu (Postdam) yang garis besarnya ada di menteri luar negeri”. Karena deskana kaisar inilah akhirnya Jepang menyatakan menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945.

0 komentar:

Post a Comment

demi keamanan pada situs atau blog kami, jangan membuat spam, virus, link aktif, dan lainnya yang sifatnya mengganggu situs atau blog kami. terima kasih.

 
English Banyuwangi © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top